UIN Jakarta Krisis Personalitas

Disematkannya kata Islam, tokoh Syarif Hidayatullah dan Kota Jakarta menambah terang identitas dan posisi intelektual UIN Jakarta. Tak perlu saya banyak cakap tentang itu pastilah kawan paham betul warna almamater kita. Tapi kini adakah kawan yang merisaukan marwah atau personalitas mahasiswa kampus ini sebagaimana didongengkan oleh kaum konservatif atau para senior yang masih berkelindan di lingkungan Ciputat. Hemat penulis, kampus ini telah memiliki gen pergerakan baik pergerakan akademis maupun gerakan aktivisme.

Kampus ini melahirkan ‘Mahzab Ciputat’ dengan Islam Rasionalnya, karya demi karya ditelurkan dan mengubah wajah umat negeri ini. Di lain pihak gerakan aktivisme tak kalah imbang terutama tentang bagaimana kisah mantan ketum PB PMII Zamroni memimpin KAMI (Kesatuan Aksi Mahsiswa Indonesia) dalam upaya merobohkan Orde Lama atau kisah heroik laiknya salah seorang kader HMI Ray Rangkuti pada tahun 98 yang sukses menggerakan mahasiswa IAIN dengan belasan kopaja kedepan muka istana.

Masa-masa romantisme itu di dorong oleh semangat pembebasan yang termanifestasi. Jika kita benturkan dengan dewasa ini tentu tidaklah kontekstual dengan problem kekininan tapi semangat tidak boleh pudar apa lagi sirna. Akhir-akhir ini penulis sebagai mahasiswa UIN Jakarta mulai mempertanyakan kembali eksistensi mahasiswa kampus pergerakan ini yang lambat laun kian homogen. Homogenitas itu berada pada level kesadaran politik. Kesadaran politik yang mustinya terwujudkan secara massif dan progresif keberbagai sektor kehidupan kampus yang semakin tak jelas juntrunganya.

Hancurnya kapitalisme Negara pada rezim Orde Baru ternyata malah membawa kita kepada gerbang neoliberalisme yang tidak kalah pahitnya, ibarat kata keluar dari mulut harimau malah masuk mulut buaya. Inilah kenyataanya. Teman-teman boleh kroscek secara ilmiah dan praktis dengan data bagaimana kapitalisme telah merubah wajah Indonesia menjadi semakin tidak Indonesia, memperkosa pasal 33 UUD 45 dan merubah sila ke-5 secara praktis dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi keadilan sosial bagi seluruh pemilik modal Indonesia maupun asing.
Mengingat situasi nasional yang kian kontra terhadap pembangunan manusia dan hanya pro terhadap pembangunan riil/fisik berimbas pada mentalitas dan personalitas mahasiswa wabil khusus mahasiswa UIN Jakarta. Penulispun mencurigai di hari depan kita semakin teralienasi dari segala bentuk politik Status Quo dan menghiraukan dehumanisasi yang tengah berlangsung.
Kampus ini memang riuh dengan organisasi, dari yang primordial sampai dengan ikatan ideologi keagamaan tapi keberagaman dan keriuhan itu belakangan terlihat passif dan tak menunjukan apa-apa. Sebut saja tiga organisasi raksasa di ciputat sekaliber PMII, HMI dan IMM. Ketiganya sama-sama mengalami dekadensi, meski kita tahu bahwa PMII dalam konteks politik kampus baru saja merayakan kemenangnya. Masih terlihat jelas belum ada upaya kritis yang dapat mengembalikan marwah pergerakan secara totalitas dan akseleratif, bahkan organisasi sempalan yang cukup serius seperti KAMMI dan HTI pun malah tercebur dalam lumpur politik yang ekslusif dan memborder kader dengan segala surga yang direpresentasikan dengan celana katung dan jenggot tebal. Tapi bagaimanapun juga saya selalu respek terhadap kawan-kawan yang masih gigih merasionalisasikan kesadaran transenden.

Determinasi Internal-Eksternal                
Ada dua faktor yang menyebabkan kampus pergerakan ini semakin krisis personalitas; faktor internal dan eksternal. Faktor internal berada pada lingkungan akademik yang oleh dosen saya—tak perlu disebutkan namanya; dikatakan bahwa banyak dosen di kampus ini minim dedikasi terhadap ilmu pengetahuan dan tidak jarang malas masuk kelas, money oriented dan pragmatis, meski masih ada beberapa dosen yang menjadi pengecualian. Belum lama juga mencuat di media tentang borok persoalan FSDAL (Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan) yang akhirnya pihak kampus mencari solusi handwash.
Ini hanya contoh kecil yang harus berani kita terima dengan jujur. Organisasi yang katanya ekstra sebagaimana di atas adalah faktor yang penulis kategorikan faktor internal. Sebab, dinamika persinggungan organ-ekstra memberikan signifikansi terhadap kader yang didistribusikan kedalam organisasi BEM J, BEM F dan BEM U yang secara tegas berhadapan langsung dengan kehidupan mahasiswa di dalam dan di luar kampus tapi dengan rasa hormat penulis mengajak jangan sekali-kali kita memadamkan potensi organisasi apa lagi fobia terhadapnya, koreksi penting, apatis adalah fatal.
Faktor eksternal merupakan faktor yang tak kalah penting, bergerak dengan senyap tampil manis tapi meracuni otak dan logika mahasiswa. Yakni sugesti kapitalisme yang berangkat dari propaganda multi dimensi. Sudahlah itu kawan tinggal baca buku karya filsuf Roland Barthes tentang propaganda semiotik dan Hebert Marcuse yang berjudul “Masyarakat Satu Dimensi” atau baca-baca di artikel Indoporgres.com niscayalah sedikit banyaknya sejalan dengan apa yang Islam ajarkan. Bagaimana tidak relasi kuasa antara sosio-ekonomi dan gaya hidup mahasiswa sadar atau tidak secara umum beroirentasi pada sugesti kapitalisme; mahasiswa sebagai agen pemenuhan pasar, entah sebagai subjek atau objek kapitalisme. Pada giliranya proses naturalisasi ini mengantarkan kesadaran mahasiswa kondisi tersebut sebagai suatu hal yang alamiah dan konsekuensi modernitas yang tak bisa kita hindarkan.

Konsolidasi Framing
Kalo dihitung-hitung tentu masyarakat umum wajar mudah terinfeksi virus reifikasi ini, tapi kenapa mahasiswa kita juga mudah mengidapnya. Menurut penulis, ini terjadi sebab rantai intelektual dan modal sosial seperti organ-ekstra tidak cukup progresif buat melakukan perlawanan kognitif terhadap sugesti kapitalisme. Diperlukan reorganisasi kembali pengetahauan tentang personalitas mahasiswa secara epistemologis, ontologis dan aksisologis sebagai gerakan penyadaran yang dibarengi dengan aksi kecil di dalam kampus seperti pagelaran seni dan budaya yang sarat akan makna sosial-politik, memframing kembali lingkungan kampus sekonservatif mungkin tanpa menegasikan sisi modernisnya, tapi sekali lagi tak perlulah kita mengambil garis antara kita dan mereka.
Aktor-aktor yang mempunya tingkat kesadaran politik dan sosial harus bertanggung jawab untuk berbicara dengan kreatif di ruang-runang strategis sampai proses dialektis ini mencapai konsolidasi pengetahuan di lingkungan kampus.
Pada tahap tersebut proses kebudayaan akan berlangsung, kampus kita jadikanya ruang buat mengejawantahkan pemikiran yang kritis dan progresif dalam pergerakan. Produktifitas diukur dari sejauhmana sumbangsih produk kampus mampu mewakili kepentingan rakyat tertindas, meluruskan orientasi umat sebagaimana islam ajarkan dan bukan malah dihitung seberapa banyak mahasiswa kita kerja di perusahaan apa, dan seberapa bagus bangunan kampus kita.
Kita bukan UI yang dapat melihat Starbucks di dalam kampus atau BINUS yang total logika Kapital; seng penting untung gede! Kita adalah juru bicara bagi suara yang tak tersuarakan, pencari kemederkaan dan penegak keadilan, dan Islam adalah pedoman!!!

Reza Andika Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram